Tuesday, November 16, 2010

Berbagi Makna Idul Adha

Malam Takbiran dan Kebebasan

Sangat berbeda dengan pengalaman yang biasa terjadi di tanah air, saya melewati malam takbiran Idul Adha tahun ini di dalam ruang baca Bibliothek (baca: Perpustakaan) kampus Uni Erfurt. Saya terduduk seorang diri di sana hingga pukul sembilan malam lebih lima puluh lima menit, ditemani laptop tua saya & sebuah buku bertajuk “Freedom” karya Nigel Warburton.

Terdiam mendengarkan celoteh beberapa tokoh semisal John Locke, John Stuart Mill dan Isaiah Berlin mengemukakan argumen mereka tentang makna sebuah kebebasan. Mill dan Berlin, tidak ada satu pun di antara mereka yang berhenti sejenak tuk mengucapkan selamat hari Raya Idul Adha yang akan tiba keesokan hari.

Hanya Locke seorang yang di penghujung malam, sempat berpesan:

"Without genuine belief, prayers and religious ceremonies are just empty words and insincere action..".

Saya pun mengangguk, diiringi alunan nada yang memecah hening malam diikuti rangkaian kalimat, “Perpustakaan akan tutup dalam waktu sepuluh menit”. Hmm.. waktunya berkemas pulang=D

Di perjalanan pulang menuju rumah, sembari mengatasi dinginnya malam musim dingin, pikiran saya pun melayang memaknai arti sebuah kebebasan. Sudahkah saya benar-benar memiliki kebebasan?

Malam ini misalnya.. Apakah desakan membaca buku sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi seorang mahasiswa, yang (mungkin) tidak sepenuhnya merupakan cara yang afdhal (baca: utama) untuk melewati malam takbiran termasuk kategori “mengekang kebebasan” saya (sebagai seorang muslim)? Atau beberapa mahasiswa muslim yang esok pagi memiliki jadwal mata kuliah yang berbenturan dengan waktu pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha di masjid terdekat termasuk yang tidak memiliki kebebasan?

Hmm.. Dalam hal ini nampaknya saya lebih cenderung melihat dari sudut pandang Berlin dalam “Two Concept of Liberty” mengenai apa yang dikatakannya sebagai “Positive Freedom”. Berbeda dengan konsep “Negative Freedom” yang selalu menekankan tentang ‘Freedom from interference ’ (kebebasan dari segala bentuk intervensi pihak lain) an sich, konsep ‘kebebasan positif’ lebih melibatkan penilaian rasional akal; memprioritaskan aktivitas yang lebih berfaedah di atas aktivitas yang (kita nilai) lebih kurang tak berfaedah.

Pilihan saya untuk menghabiskan ‘malam takbiran’ di perpustakaan kampus, merupakan pilihan rasional saya, yang saya nilai lebih baik daripada pilihan aktivitas lain yang tersedia semisal: terpaku di depan Facebook selama sekian jam, pergi bersosialisasi ke pub-pub malam, atau bahkan yang lebih parah lagi: melamun memikirkan kapan saya bisa merasakan kiriman ketupat, opor dan rendang dari tanah air untuk panganan esok hari=b Bagaimana pun situasinya, pilihan tetap ada di tangan saya. Inilah kebebasan yang saya pahami.. Tidak kurang dan tidak lebih. Dan saya pun terlelap dalam damai..

Makna Idul Adha

Idul Adha di Jerman tahun ini, berdasarkan informasi dari persatuan ulama muslim Jerman, KRW (Koordinationrat der Muslime) di Köln, jatuh pada hari selasa, 16 November 2010. Usai pelaksanaan ibadah Shalat Jumat pekan yang lalu, Imam masjid Erfurt pun sudah menginformasikan bahwa Shalat Idul Adha insya Allah akan dilaksanakan pada hari selasa pukul 08.00 CET.

Pada hari yang ditentukan, saya bersama dengan beberapa orang kawan muslim asal Pakistan, Bangladesh, Tajikistan dan seorang muslimah asal Indonesia terlebih dahulu bertemu di lobi asrama mahasiswa pada pukul 07.15 CET, untuk kemudian bersama-sama berangkat menuju masjid. Setelah menunggu selama lebih kurang 15 menit, akhirnya kami pun mulai melangkah.

Seperti hari biasa pada umumnya, di sepanjang jalan yang dilewati Tram, tidak ada satu pun umbul-umbul ucapan selamat hari Raya Idul Adha dari pemda setempat, juga tidak ada poster maupun spanduk berbagai lembaga & panitia pengelola hewan Qurban yang biasa meramaikan berbagai ruas jalan ibukota.

Sesampainya kami di pintu masjid, angka di jam tangan saya telah menunjukkan pukul 08.00 CET. Alhamdulillah, kami beruntung karena ibadah shalat Ied belum dimulai. Di dalam ruangan tsb, sudah hadir lebih kurang empat puluh hingga lima puluh jamaah laki-laki dari berbagai usia dan berbagai warna kulit. Para Muslimah memiliki ruangan tersendiri. Salah seorang di antara pengurus masjid memegang mic, mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid.. diikuti oleh seluruh jamaah yang hadir. Persis seperti di tanah air, meskipun dengan alunan nada yang sedikit berbeda=D

Shalat Ied pun dimulai. Rakaat pertama tujuh kali takbir, dan rakaat kedua lima kali takbir. Setelah shalat usai, imam pun menyampaikan khutbahnya dalam bahasa Jerman dengan sesekali beralih ke bahasa Turki. Sepenggal khutbah beliau adalah,

“Makna Idul Adha adalah untuk mendekatkan kita satu sama lain.. saling mengetahui bagaimana kabar sesama. Pada hari ini, kita mengundang kerabat dan kawan, yang dalam keseharian dekat maupun tidak terlalu dekat, untuk hadir ke rumah kita.. kita sajikan makanan dan minuman sekedarnya. Inilah bagian dari makna Idul Adha”.

Dilanjutkan dengan sesi ramah tamah, para jamaah saling berpelukan & bersalaman dengan hangat, tersenyum sembari mengucap “Happy Ied Mubarak, Bruder”=D Cukup lama saya peluk tubuh Imam yang besar, sembari mengaminkan doa yang beliau bisikkan pelan ke telinga.. “Barakallahulii wa lakum, ya ustadz”, jawab saya singkat. Di luar ruangan shalat, berbagai panganan kue dan minuman ringan plus teh hangat telah tersedia. Momen ini saya manfaatkan untuk bersilaturahim & berkenalan dengan beberapa mahasiswa muslim tahun kedua, yang tengah menempuh studi di tempat yang sama.

Sayangnya saya tidak sempat bertanya mengenai bagaimana tradisi pemotongan hewan qurban di kalangan muslim Jerman. Yang jelas, saya tidak melihat lubang-lubang yang biasa dibuat di sekitar masjid di Indonesia untuk pemotongan hewan Qurban. Tapi pekan yang lalu, saya sempat mendengar bahwa pengurus masjid bersedia menerima sumbangan uang untuk membeli hewan Qurban dari para jamaah dan menyalurkannya kepada yang membutuhkan.

Opor Ayam “Alhamdulillah”

Pada peringatan Idul Adha tahun ini, saya cukup beruntung karena mendapatkan undangan makan siang dari seorang kawan asal Indonesia untuk mencicipi berbagai masakan khas Indonesia semisal Rendang, Gulai dan Opor. Ia juga turut mengundang beberapa kawan mahasiswa non muslim yang kebetulan studi di tempat yang sama untuk turut mencicipi racikan bumbu Indonesia.

Namun, sayangnya pada jam yang ditentukan saya tidak dapat turut hadir. Seorang kawan mendadak membutuhkan pertolongan. Tak sanggup saya menolak. Mencoba sedikit berempati, di tempat yang sangat jauh dari sanak keluarga, siapakah yang dapat membantu kita di tengah kesulitan selain seorang teman bukan?

Saya pun mengestimasi, mungkin 30 menit cukup untuk membantu kawan tsb hingga tuntas sehingga bisa segera bergabung menikmati santapan istimewa hari raya=D Waktu pun bergulir, satu jam.. dua jam.. hingga akhirnya, alhamdulillah, terselesaikanlah permasalahan kawan tsb. Namun, sayang beribu sayang, sekira setengah jam yang lalu, sang empunya acara menginformasikan bahwa panganan sudah habis!=b Diiringi derai rintik air hujan yang seolah mencoba berempati, saya berjalan menahan lapar menuju rumah.. Tepat ketika saya memegang gagang pintu menuju lobi, hp saya pun berdering dan suara di ujung sana bersahut, “Za, ternyata masih ada sisa opor dan nasi!”. Alhamdulillah.. Kalau udah rezeki emang ga akan kemana=D AHA, Inilah makna Idul Adha..

Happy Ied Mubarak, my Friends!

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips