Thursday, November 24, 2011

Pemuda Muslim Masa Kini

"Seorang yang mampu menemukan makna hidupnya adalah seorang yang mampu untuk mengambil jarak dari dirinya sendiri" - terinspirasi dari Viktor Frankl

Membaca berita bertajuk "LSI: Minat Salat & Baca Al Quran Kaum Muda Muslim Rendah " (http://us.detiknews.com/read/2011/06/14/152950/1660063/10/lsi-minat-salat-baca-al-quran-kaum-muda-muslim-rendah), membuat saya teringat pada perjumpaan pertama saya dengan salah seorang tetangga asal Afghanistan sekira 9 bulan yang lalu. Ketika itu kami saling bertegur sapa, bertukar nama dan ia pun mengucapkan selamat datang sembari tak lupa dengan senyum lebar ia menyampaikan "I am a muslim!". Tak lupa saya membalas senyum dan mohon pamit utk berbenah di hari pertama saya tiba di kota Erfurt tercinta ini.

Selang beberapa waktu kemudian waktu shalat zuhur pun tiba. Sebagai pendatang baru yang tak tau menau kemana arah kiblat, saya pun memutuskan untuk mengetuk pintu tetangga baru saya dan bertanya padanya. Saya bertanya kepadanya, "are u praying?". Beliau pun dgn ramah merespon, "ya, sometimes =D". Saya pun lanjut bertanya, "where's the qiblah direction?". Ia pun hanya tertawa kecil sembari mengangkat kedua pundaknya, speechless..

Belakangan saya ketahui bahwa sepanjang tinggal selama beberapa bulan di ibukota negara bagian Thüringia ini, ia belum pernah sekalipun pergi ke masjid atau bahkan belum ada motivasi untuk mencari tahu di mana lokasi masjid terdekat berada. Sekali dua kali alhamdulillah berhasil ia saya bujuk ikut ke masjid untuk bersama-sama melaksanakan shalat jumat. Namun, pada kesempatan lain, atas nama 'produktivitas', ia tak mau berkompromi dengan agenda diskusi kelompok yang berbentrokan dgn jadwal shalat jumat. Meskipun sebenarnya adalah hal yang mudah baginya untuk mengondisikannya dan sedikit menyesuaikan waktu pertemuan dgn kawan-kawan lainnya. Setelah itu cukup lama ia tak pergi bersama untuk menunaikan shalat jumat.

Sampai suatu ketika ia tiba-tiba datang ke saya dengan bersemangat dan bertanya, "Reza, kemana arah kiblat?". Saya yang masih tertegun, spontan menjawab: "Terbentur apa kepalamu barusan?". Ia pun meneruskan, "saya kini tengah berada di dalam pencarian.. saya ingin lebih dekat dengan Tuhan! kehidupan dunia seharusnya tak membuat kita lupa akan akhirat, reza!". Mendadak kini ia mengajari saya. Saya pun tersenyum=D Semalam saat saya mencuci priring seusai makan malam, tampak ragu ia bertanya kepada saya: "Reza, pernahkah kamu meminum bir?". Sepertinya saya paham kemana arah pembicaraannya karena beberapa saat sebelumnya sempat saya lihat sebotol bir tergeletak di dalam lemari pendingin. Sambil tersenyum, saya katakan padanya, "sebagai seorang muslim, kita perlu memegang prinsip=D". Mendengar perkataan saya, sekilas ia menatap botol bir yang kini telah berada di dalam genggamannya, tampak keraguan untuk melanjutkan niatnya atau menghentikannya saat itu juga. "Ya.. terkadang ada kalanya kita 'lupa'..", sembari menuang segelas bir dan menegaknya hingga habis.

Begitulah gambaran kita: "Lupa-Lupa Ingat"=D seringkali lupa, jarang ingat. Salah seorang guru saya pernah bertutur menyitir petuah baginda Rasulullah SAW, "iman itu yazid wa yanqus.. iman itu naik dan turun". Kalau kita mencoba jujur pada diri kita sendiri, "iman kita ini lebih sering naik, atau lebih sering turun?"=D

Saya pribadi berkaca, bahwa saya pun masih jauh dalam gambaran muslim yang baik. Dari indikator yang sederhana saja: shalat dan quran. Terkadang bila ada rangkaian block-seminar yang biasanya berada pada hari jumat-sabtu dan berlangsung selama dua hari penuh dari pagi hingga petang, saya meminta rukhsah (baca: keringanan) kepada Tuhan utk mengganti ibadah shalat jumat dgn shalat zuhur. Itu pun saya lakukan dengan 'mencuri-curi' waktu jeda makan siang, menggoes sepeda secepat-cepatnya agar dapat menggelar sajadah dengan nyaman di kamar dan berdialog dengan-Nya. (Lihatlah bagaimana saya membuat justifikasi dengan memberikan penekanan pada frase " ..'mencuri-curi' waktu jeda.." agar terkesan 'saya telah berupaya duhai Tuhan, duhai kawan-kawan..'=b). Interaksi dengan quran pun demikian.. Baru menyentuh lembar kedua, mata saya mendadak terasa begitu berat, mengantuk. Kapankah kita bisa berinteraksi dengan quran seperti interaksi kita dengan Facebook?=D

Kalaulah bukan karena kemurahan Allah untuk menutupi aib saya dengan husnuzhan (prasangka baik) yang ditampilkan oleh kawan-kawan yang lain, tentulah saya tiada dapat memperoleh kesempatan untuk menjadi lebih baik. Momentum-momentum perbaikan diri itu seringkali hadir lewat berbagai peristiwa, namun terkadang kita kurang peka untuk bergegas menyambutnya. Seperti kejadian berikut ini: mendadak salah seorang kawan yang belum pernah saya kenal sebelumnya mengontak bahwa ada seorang kawan yang tertarik untuk mengenal lebih banyak tentang Islam. Ia begitu bersemangat untuk mencari tahu lebih banyak tentang kebenaran Islam. Sementara saya lebih sering terhenti pada pertanyaan (apakah Islam ini agama yg benar?; apa betul Quran itu kitab Tuhan?,dsb), bukan pada pencarian jawaban. Ah, ini mungkin cara Tuhan menegur hambaNya yang sudah begitu lama terlupa, seakan berucap "Mari.. kenali Aku lebih dekat!".

Peristiwa unik lainnya pun saya alami ketika saya begitu berat melangkah guna menghadiri sebuah acara keislaman di daerah selatan yang digagas oleh organisasi masyarakat muslim Indonesia di Jerman (FORKOM http://www.forkom-jerman.org/), terutama karena jarak yang jauh terbentang (sekira 7,5 jam perjalanan kereta). Tiada angin tiada hujan, seorang kawan di tanah air mendadak menghubungi dan meminta saya untuk menengok kabar seorang kerabatnya di kota yang persis sama dgn kota pelaksanaan acara tsb. Wajah seorang adik kelas yang sudah begitu lama tak berjumpa di kota tsb pun terlintas, menanti utk disilaturahimi. Rangkaian peristiwa ini, seolah-olah mencoba berkata, "Sudah bismillah.. kamu harus berangkat!",maka saya pun bulat untuk berangkat. Sepulang dari sana saya membawa serangkaian titipan salam untuk disampaikan.. begitu indah=D

Pernahkah kawan-kawan sekalian mengalami kejadian serupa?=D terkadang saya menduga, boleh jadi momentum-momentum semacam ini hadir atas doa orang tua-orang tua kita, guru-guru kita, sahabat-sahabat kita agar kita tetap senantiasa terjaga.

Viktor Frankl, seorang psikolog yang justru menemukan makna hidupnya di dalam kamp konsentrasi Nazi, menuturkan dalam karyanya Man's Search for Meaning (yang diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dari judul aslinya Ein Psychologe erlebt das Konzentrationslager; seorang psikolog yang mengalami kamp konsentrasi) bahwa eksistensi manusia ditandai oleh setidaknya tiga hal: Spritualitas, Kebebasan, dan Tanggung Jawab.

Hal yang pertama, "spiritualitas" adalah sesuatu yang abstrak, tiada dapat terlukis oleh materi. Namun dapat dipengaruhi oleh 'dunia material'. Selanjutnya "kebebasan" merupakan sebuah keadaan dimana manusia memiliki kecenderungan untuk tidak mau didikte; terlebih kita sebagai 'anak muda' yang katanya berada pada 'masa-masa pemberontakan'=D haha.. Hal terakhir inilah yang harus selalu kita ingat, bahwa setiap pilihan yang kita buat mestilah mengandung 'tanggung jawab'. Sehingga ada baiknya, sebelum mengambil sebuah keputusan kita pertimbangkan apa konsekuensi selanjutnya bagi kita, orang-orang terdekat kita, dan lingkungan. Tidak perlu risau dengan ucapan sebagian orang yang berpendapat, "menjadi bijak itu adalah haknya orang-orang tua". Dikotomi 'tua' dan 'muda' tentu perlu kita letakkan dalam koridor yang tepat, dalam konteks yang sesuai. Bukan begitu kawan?=D

Jadi, sekarang kalau ada yang bertanya kepada kita "gimana caranya supaya eksis sebagai pemuda (muslim)?", maka jawablah: "dengan lebih dekat kepada Tuhan, bebas, namun tetap bertanggung jawab". Bagaimana?=D haha..

mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan. Please enjoy ur life!=D

salam pemudi-pemuda!

#dari saya yang tiba-tiba dpt inspirasi nulis note pas lagi 'stuck' bikin outline presentasi minggu depan!=b

pic taken from: http://www.inpursuitofmeaning.com/wp-content/uploads/2010/01/stairway-to-heaven.jpg

Berdialog dengan Kesuksesan

Kesuksesan yang terbesar adalah keberhasilan menerima diri sendiri - Ben Sweet

Kesuksesan merupakan sebuah kata yang begitu mempesona. Bagaimana tidak, ia begitu didambakan oleh banyak orang. Adakah seorang diantara kita yang tidak ingin sukses? Saya meyakini, haqqul yaqiin bahwa anda, saya, dan kita semua ingin sekali menjadi seorang yang sukses!

Baik.. Kalau kita ingin menjadi sukses, apa sesungguhnya arti sebuah kesuksesan? Sekali waktu, terutama bila kita belum pernah mencobanya, ada baiknya kita meluangkan waktu tuk benar-benar menjawabnya. Cobalah pejamkan mata kita kemudian maknai, resapi sejenak, seperti apa diri kita yang 'sukses' itu?=D

Mungkin sebagian kita melihat dalam imajinasinya, bahwa gambaran ia yang sukses adalah ia yang sedang tersenyum.. tulus sekali.. hingga nampak giginya yang putih berseri-seri, raut kegembiraan wajah orang-orang yang ia cintai, berpadu dalam sebuah nuansa yang begitu damai, tenteram, bahagia!=D

Tentu masing- masing kita memiliki penghayatan yg berbeda tentang arti sebuah kesuksesan. Gambaran yang telah saya sampaikan sebelumnya hanyalah sebuah contoh tuk menunjukkan bahwa pada dasarnya kesuksesan merupakan sesuatu yang lahir dari dalam hati kita untuk mengapresiasi kita yang bahagia=D

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin menarik untuk kita ajukan adalah lantas bagaimana caranya meraih kesuksesan? Saya pribadi berpendapat bahwa cara-cara tuk menggapai kesuksesan pada hakikatnya telah kita ketahui, namun sayangnya seringkali tidak kita sadari. Kita sebenarnya tahu, hanya tidak jarang kita tidak mau betul-betul tahu. Hmm.. apa iya begitu?=D sekarang begini.. coba tuliskan secara spontan (dalam waktu 30 detik), apa yang terpikir di dalam benak kita, bila kita ditanya mengenai hal-hal apa saja yang kita perlukan untuk menjadi sukses? mulai!=D

bekerja keras, disiplin, memperbanyak doa, planning yang terencana, mencari lingkungan yang mendukung , meningkatkan kualitas diri, mengevaluasi diri di setiap penghujung hari.. ga ada ide ga ada ide.. tetap menjaga semangat..

ini beberapa hal yang terlintas secara spontan di dalam benak saya sendiri. bagaimana dengan anda?=D tentu beragam hasilnya.. 30 detik tentu tidaklah cukup tuk merumuskan strategi pencapaian kesuksesan, tapi terlepas dari itu semua, simulasi tsb merupakan sebuah ilustrasi utk membuat kita kembali tersadarkan.. (semoga=D)

sadarkah kita bahwa sesungguhnya Tuhan telah mengaruniai kita sebuah akal yang begitu mengagumkan, yang dengannya bahkan kita bisa menjawab hal-hal yang awalnya nampak begitu asing bagi kita, semisal kesuksesan? saya berasumsi bahwa kita mampu melakukannya karena kita yang saat ini adalah kita yang telah berproses.. kita yang tiada henti belajar dari lingkungan tentang nilai-nilai; apa yang baik dan buruk untuk kita terapkan di dalam hidup kita. Seandainya saja kita mau jujur kawan, dengan karunia seluar biasa ini, mengapa kita masih belum saja sukses kawan? Opini saya, itu terjadi karena kita terlalu sering memperhatikan 'keluar', namun begitu jarang 'ke dalam'.. terlalu sibuk berkaca pada 'kesuksesan orang lain' dan terlupa tuk memberikan apresiasi yang cukup terhadap diri kita sendiri.

Kembali ke deretan kata yang berhasil kita ungkap sebelumnya secara spontan tentang cara meraih kesuksesan, maka ada baiknya bila kita mengevaluasinya satu per satu.. sudahkah kita mewujudkannya?=D

Diri saya menyebutkan kata pertama: 'bekerja keras'.. sudahkah saya tergolong sbg seorg pekerja keras?self-evaluation.. hmm.. tampaknya belum. Di pagi hari saya terbangun dgn malas menyongsong hari.. kasur yang empuk membuat saya sulit bergerak. Yang kedua, 'disiplin'. hmm.. juga belum. saya menjalani hari sesuka hati, tanpa ada arahan yang jelas, tiada prioritas. agenda harian hanyalah agenda yang bila tidak dikerjakan hari ini, dikerjakan pada hari berikutnya, atau pada hari setelah hari berikutnya. prokrastinasi masih setia mengikuti hari-hari saya.. dan seterusnya..

Bila kebanyakan hasil evaluasi saya terhadap kriteria tsb ternyata 'belum terpenuhi', maka pantaslah saya tidak kunjung sukses! maka dengan demikian tepatlah apa yang disampaikan oleh Sweet di awal perjumpaan kita tadi, bahwa 'kesuksesan yang terbesar adalah keberhasilan menerima diri sendiri' ; diawali dengan menerimanya, mendengarnya sepenuh hati, kemudian menjadikannya sebagai pondasi untuk mengembangkan diri dan bersungguh-sungguh menjadi lebih baik dari hari ke hari,waktu ke waktu melalui perilaku nyata kita sendiri. Kalau sudah begitu, masa sih kita tidak sukses juga?=D haha..

salam hangat untukmu para pendamba kesuksesan! semoga berkenan..

source picture: http://shouzyie.blogspot.com

Eropa kini di mata saya

“Manusia merasa terganggu bukan oleh hal lain, melainkan oleh cara pandangnya akan hal-hal tersebut” – Stoic Epictetus



Pagi ini, telah lewat pukul dua dini hari dan saya belum bisa tertidur menyimpan sejumlah tanda tanya besar di kepala.. Serangkaian diskusi maupun berbagai obrolan hangat di sepanjang minggu lalu tiba-tiba kembali menyadarkan saya, bhw dunia kita ini sesungguhnya masih menyediakan begitu banyak ‘ladang potensial’ utk dikembangkan=D jd bagi sahabat sekalian, baik yg masih berstatus mahasiswa, baru saja menyandang gelar sarjana, maupun telah lama menghirup udara dunia kerja.. jangan pernah khawatir kehabisan ladang berkontribusi! Sebagian topik di antaranya berkisah tentang kondisi di berbagai negeri Eropa maupun institusinya (baca: Uni Eropa), tidak lupa pula tentang masa depan negeri=D

Kalau boleh saya bertanya kepada sahabat sekalian, “Apa kesan yang terlintas di benak kita saat pertama kali mendengar kata ‘Eropa’?” Dahulu, di benak saya negeri-negeri Eropa merupakan sebuah ‘negeri tanpa cela’, terutama bila kita mencoba memandang mereka dari sisi kalkulasi ekonomi. EU (atau yg dikenal dengan Uni Eropa) merupakan area yg sangat atraktif bagi para pelaku bisnis dunia, wa bil khusus karena Uni Eropa dianggap sbg sebuah ‘kawasan model’ (baca: percontohan) yg dianggap paling berhasil dlm dengan menggenjot roda perekonomian regionalnya dibandingkan dgn kawasan lainnya. Faktanya memang demikian.. namun, apabila kita telisik lebih jauh ternyata EU pun menyisakan berbagai ‘kebimbangan’ yang amat sangat kompleks untuk diatasi, bahkan bisa saya katakan ‘jauh lebih serius’ dibanding permasalahan yang dihadapi oleh bangsa-bangsa dunia ketiga di kawasan Asia maupun Asia Tenggara secara khusus.

Kebimbangan yang pertama, menyangkut ketimpangan tingkat kesejahteraan berbagai negara di kawasan eropa. Bila ada di antara sahabat sekalian yang masih berpikir bahwa seluruh negara eropa merupakan negara ‘maju’, maka barangkali tulisan ini bisa sedikit memberikan gambaran bahwa eropa tidaklah ‘semaju’ yang kita duga. Di antara 27 negara anggota EU, ada beberapa negara yang kini masih memiliki permasalahan serius dengan perekonomiannya dan tingkat kesejahteraan warganya, sebut saja rangkaian krisis finansial di negeri ‘saint seiya’ Yunani (info lbh lanjut bisa dilihat disini: http://www.cnn.com/2010/BUSINESS/02/10/greek.debt.qanda/index.html), di negeri ‘matador’ spanyol (info lebih lanjut bisa dilihat disini: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2011/mar/30/eurozone-crisis-spain-pain-editorial), maupun di ‘negeri asal Ronan Keating’ Irlandia (http://www.guardian.co.uk/business/ireland-business-blog-with-lisa-ocarroll/2011/apr/01/ireland-banking-crisis atau di http://en.wikipedia.org/wiki/2008%E2%80%932011_Irish_financial_crisis). Semuanya mendekati titik nadhir alias ‘collapse’!

Kebimbangan kedua, jauh lebih filosofis daripada yang pertama.. mengapa? Ketika beberapa negara Eropa bersepakat untuk membentuk EU, maka ada sekian hal yang harus ‘dikorbankan’ dari kedaulatan (baca: sovereignty) masing-masing bangsa tsb. Kalau dulu, proses pengambilan keputusan hanya melibatkan berbagai institusi ‘dalam negeri’, kini proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama-sama pada tingkat ‘supra-nasional’. Salah satu implikasi nyatanya, tentu membuat proses pengambilan keputusan menjadi jauh lebih kompleks.

Implikasi lain yang juga tidak kalah penting, menyangkut siapa yang sesungguhnya berhak untuk mewakili EU di mata internasional? Scr de jure, memang disebutkan bahwa EU secara eksternal direpresentasikan oleh the Presidency of the Council of the European Union. Namun scr de facto, kepemimpinan EU di mata internasional (khususnya di Asia Pasifik, simak ‘lecture on The EU through The Eyes of Asia’ berdasarkan penelitian terkini Chaban & Holland di http://www.youtube.com/watch?v=-K7XwhbZw2w&feature=related) masih menyisakan tanda tanya besar dan lebih banyak diperankan oleh trio EU (Jerman, Inggris & Perancis). Kondisi ini menjadi lebih kompleks karena ketiga negara ini memiliki ‘kepentingan’-nya masing-masing. Merujuk kepada salah seorang prof saya, prof Weisskirchen (http://en.wikipedia.org/wiki/Gert_Weisskirchen), masing-masing negara tsb memiliki kecenderungan natural untuk ‘lebih mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kepentingan EU itu sendiri’, gejala ini terutama (menurut beliau) secara konsisten ditunjukkan oleh Sarkozy, dari Perancis (baca: http://www.ecfr.eu/page/-/documents/Torreblanca-Sarkozy-Foreign-Policy.pdf).

Keadaan memprihatinkan lainnya, terlihat pula dari nilai-nilai yang berkaitan dengan kepedulian antara sesama. Contoh yang tepat, salah satunya mungkin bisa tercermin dari bagaimana kebijakan Berlusconi, Italy dalam merespon gelombang pengungsi dari afrika, sebagian besar Tunisian (belakangan membuat hubungan Italy-France ‘memanas’), yang kurang lebih dapat disimpulkan sebagai berikut: “Para pengungsi yang tiba di perbatasan Italy, silakan langsung ambil kereta menuju perancis!” (baca: http://24worldnews.net/world-news/france-stops-italy-migrant-trains/). Prof. Weisskirchen menggambarkannya sebagai sebuah fenomena ‘saling lempar tanggung jawab’, yang memperlihatkan ketidak-acuhan satu negara dengan negara lainnya (di dalam EU) untuk saling menanggung masalah bersama-sama (sebagai konsekuensi mjd anggota EU).

Kompleksitas ini belum ditambah dengan kondisi geopolitik EU, terutama dalam relasinya dengan negara-negara tetangganya. Prof. Mahbubani (dekan LYSPP, singapore) dalam bukunya ‘The New Asian Hemisphere’ bahkan menempatkan EU di posisi ‘kedua dari bawah’ setelah ‘the Soviet Union’ dalam ‘Rangking of Geopolitical Incompetence’ (simak perdebatan menarik bertajuk ‘Asia vs Europe: Which Region is More Geopolitically incompetent?’ di http://www.youtube.com/watch?v=K6wblfoRb14&feature=BFp&list=WL2D1CC90353BF712F&index=10 atau pidato beliau dlm versi yang lebih ringkas di http://www.youtube.com/watch?v=4GEcXVbsEX8). I would recommend his book, definitely!=D

Berdasarkan diskusi saya di kelas dengan beberapa kawan yang kesemuanya berasal dari beberapa negara Eropa (Jerman, Rumania, Macedonia & Rusia) plus dua orang asal Afghanistan, Kondisi EU ini nampaknya bisa dirangkum dalam pernyataan Mc Cormick (1999) berikut: “The world does not yet quite know what to make of the European Union, in large part because the European Union does not yet quite know what to make of itself”. Di akhir diskusi, saya sampaikan kepada prof Weisskirchen & kawan-kawan, bahwa “Asia (dengan berbagai permasalahannya) nampak masih jauh ‘lebih beruntung’ daripada Eropa!=D” (akhirnya, saya sbg ‘Asian’ bisa menemukan sebuah poin yg membuat kita sedikit lebih ‘unggul’ dibandingkan kawan-kawan ‘European’). Europe is now simply at the point of ‘no return’.. kalau dalam bahasanya ‘Warkop DKI’: maju kena, mundur kena!=b

Sebagian kawan mungkin berpendapat, “ini adalah waktu yang tepat bagi muslim untuk menjadi bagian dari solusi=D” Tapi, nanti dulu.. Mengamati bagaimana dinamika muslim, di Eropa & Middle-East pada khususnya, muslim pun kini masih berlomba dengan waktu untuk mengatasi berbagai tantangan internal (baca: diantaranya tingkat pengangguran & pendidikan) maupun eksternal (baca: ‘Islamophobia). Keduanya, kini menurut saya, menghasilkan sebuah kondisi ‘mistrust’ (baca: ketidakpercayaan) terhadap solusi yang dapat dihadirkan oleh Islam. Bila sahabat (yang beragama Islam) ditanya, apa yang bisa ditawarkan Islam sebagai solusi..

Jawaban apa yang akan anda berikan dalam tataran konkrit?=D Saya pribadi, masih belum memiliki solusi yang nyata, misalnya ketika kawan-kawan bertanya mengenai bagaimana mengatasi kondisi ‘Islamophobia’ yang kini melanda eropa, khususnya di Inggris dan Perancis (semoga ada sahabat di Inggris maupun Perancis yang berkenan berbagi=D). Saya pribadi baru mampu memberikan saran yang bersifat umum dengan mendorong terjadinya komunikasi yang lebih terbuka dengan komunitas muslim guna mengatasi prejudice yang didasari oleh keterbatasan dalam hal informasi. Namun, belum mampu memberikan konsep yang lebih ‘real’, misalnya dalam mengatasi perilaku sekelompok ‘oknum’ pemuda Turki kaya (yang dikategorikan oleh masyarakat jerman sebagai ‘muslim’) di sebuah kawasan tertentu di Berlin, yang kerap menampilkan perilaku berlalu-lintas yang meresahkan warga sekitar dengan arogansi ‘mainan’ mobil mercedez-nya. Wallahua’lam. ‘Uncertainy’ nampaknya menjadi sebuah kata yang mewakili seluruh rangkaian diskusi saya minggu lalu..

Lalu bagaimana dengan negeri kita?=D Hingga saat ini, saya masih belum bisa menemukan jawaban yang memuaskan (minimal bagi diri saya sendiri) terhadap pertanyaan berikut: “Mengapa negara sepotensial Indonesia masih belum juga mampu menjadi sebuah negara maju?”. Saya memang mendengar bahwa kita ini masih belum kompak, krisis kepemimpinan dan keteladanan, dan sekelumit permasalahan lainnya. Tapi coba telaah bagaimana perjalanan historis negara tetangga kita, Singapura (semoga di lain kesempatan saya dapat berbagi tentangnya). Dari sebuah negeri ‘tanpa nama’, ‘tanpa nasionalisme’ hingga kini menjadi salah satu negara super kaya.. dan Singapura ibarat sebuah titik dibandingkan pulau-pulau di sepenjuru Nusantara.

Jadi kita harus mulai dari mana? Seringkali saya khawatir bahwa sepulangnya saya nanti pun tidak mampu memberikan sumbangsih apa-apa bagi masyarakat. ‘Zona nyaman’ ini betul-betul membuat saya terlena. The problems are simply too complicated! Rasa-rasanya, berkontribusi di sebuah desa kecil dan berupaya mengembangkan masyarakatnya sepenuh hati jauh lebih baik daripada ‘terjun’ ke sebuah area yang penuh konflik, sarat berbagai ‘kontaminasi negatif’. Sekiranya sahabat berada di posisi saya, memperoleh kesempatan studi di Jerman, apa yang akan sahabat sekalian lakukan?=D

Permasalahan nampaknya ada dalam ‘sistem’, bukan ‘orang’. Sehingga secara teoritis, keteguhan dalam mengemukakan & bertahan dalam prinsip-prinsip kebaikan, seharusnya menjadi keniscayaan sebagai pondasi berkarya kita. Dalam tataran praktis, tentu sahabat sekalian yang kini sudah terjun ke dalam institusi-institusi pemerintahan maupun swasta yang lebih mafhum dari saya baru belajar beretorika. Terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi sahabat berbagi kegamangan=D selamat beraktivitas!

picture source: http://www.europeword.com/blog/tag/european-union-countries/

Tuesday, January 18, 2011

Rektor & Professor Turun Kejalan


Posting salah seorang kawan di Milis PPI Jerman ini sepertinya sangat menarik untuk ditelaah.. Rektor menghimbau Professor & Civitas Akademika utk turun ke Jalan? Ini bersejarah ini! Langsung saya taruh di kategori "Gerakan". hehe.. Selamat membaca=D

"Assalamualaikum Wr Wb

Mahasiswa turun kejalan? Biasa.. berita yang cukup sering kita dapati. Bagaimana
dengan berita rektor dan professor turun ke jalan? Ini mungkin berita yang cukup
unik dan luar biasa. Berita ini datang dari negeri rantau Belanda. Reportase ini
diawali dari status fb seorang kawan yang berkuliah di universitas tetangga (TU
Delft) yang menyatakan bahwa rektornya mengajak seluruh professor untuk
berdemonstrasi. Menarik.. Saya beri jempol (namun diri belum sepenuhnya "ngeh",
mengenai berita ini:p)

Setelah saya buka email universitas saya (Uni Erasmus Rotterdam), ternyata saya
juga mendapati tembusan email dari rektor saya yang mengajak para fakultas dan
civitas akademika untuk turun ke jalan pada tanggal 21 Januari depan di Den
Haag. Untuk menyukseskan agenda ini, Sang Rektor membolehkan pembatalan kuliah
pada hari ini. Aksi ini dilakukan berkaitan dengan rencana pemerintah Belanda
untuk memotong anggaran pendidikan sebesar 370 Juta Euro. Hal ini ditengarai
akan memiliki efek yang signifikatif pada kegiatan riset, operasi pendidikan,
dan hajat hidup civitas akademika. Berita ini juga saya temukan di weblink
universitas kota tetangga (Universitas Groningen). (buka url ini)

Sungguh menarik karena Rektor dan Professor yang sering dikiaskan dengan
ketenangan kali ini ikut turun kejalan bersama mahasiswa untuk mengekspresikan
perhatian mereka terhadap rencana pemerintah yang bertentangan dengan nurani
mereka. Untuk kasus tanah air kita, kalau boleh menyusun skala prioritas, tentu
transparansi dan asessment efektifitas penyaluran anggaran pendidikan sebesar
20% APBN menjadi prioritas utama, karena anggaran kecil yang akuntabilitas
dananya jelas sering kali lebih terasa manfaatnya dari anggaran yang besar namun
tidak akuntabel. Semoga alokasi dana sebesar itu dapat dirasa manfaat
kongkritnya bagi seluruh kalangan masyarakat. Amin.

Sekedar berbagi cerita menarik dari rantau. Jadi teringat wejangan dari suatu
buku yang saya lupa judulnya, "Bila civitas akademika dan kaum rohaniwan sudah
akrab dengan kekuasaan maka kehancuran suatu negara adalah resikonya". Bagaimana
dengan negeri kita? hehehe..;) Semoga civitas akademika dan rohaniwan di negara
kita tetap netral dan berkiblat pada kebenaran. Amin. "Semoga Tuhan meridhoi
kita untuk menghamba dan hanya tunduk pada Yang Maha Esa saja". Amin.

Wassalamualaikum Wr Wb
Meditya Wasesa"

sumber: Milis PPI Jerman, tulisan serupa dapat ditemukan juga di / http://meditya-wasesa.blogspot.com/2011/01/rektor-professor-turun-kejalan.html

Gambar berasal dari : http://i.ytimg.com/vi/3e5eUmTyxGE/0.jpg

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips