Wednesday, January 18, 2012

A Train Boy Story

Die beste Bildung findet ein gescheiter Mensch auf Reisen - Goethe


Di depan Stasiun kota Pisa


'Train Boy' adalah nama belakang baru saya kini, setelah sebelumnya 'Conference Boy' terlebih dahulu dilekatkan oleh salah seorang tetangga saya yang gemar melihat saya berceloteh sendirian di dalam kamar, 'melompat' dari satu conference ke conference lainnya:D Kereta adalah salah satu bagian penting dari hidup saya sebagai seorang pelajar di Jerman. Di atas kuda besi inilah saya melewatkan sebagian hidup saya. Bahkan tidak jarang saya membawa serta sejumlah buku dan laptop tua saya tuk memenuhi berbagai tenggat deadline, mencari inspirasi tuk menulis, membaca referensi presentasi dan bahkan mempersiapkan materi ujian. Saya sepakat dengan apa yang Goethe sampaikan sekian dekade yang lalu, (meskipun saya jauh dari ungkapan 'gescheiter Mensch'), bahwa perjalanan adalah salah seorang guru terbaik saya! Darinya saya belajar begitu banyak hal:D

Langit Dunia

Saat kecil dulu saya percaya bahwa langit yang memayungi setiap negara berbeda-beda (antara satu dengan lainnya) :D Kesimpulan ini saya peroleh dari pengamatan mata kecil saya dalam kunjungan pertama saya ke negeri tetangga, Singapura, sekira tujuh belas tahun yang lalu. What's an old story to share ya?:D haha.. Saya masih ingat betul kala itu saya mengajukan sejumlah pertanyaan pada diri saya sendiri, "Mengapa langit Singapura tampak lebih dekat dengan gumpalan awan-awan yang lebih besar dibandingkan dengan langit Indonesia? Mengapa senja datang lebih lambat di langit Singapura?". Dari sanalah saya menarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa langit bumi ini pasti berbeda-beda! Dan lucunya, kesimpulan lugu itu masih senantiasa saya simpan dalam memori dan hati, hingga kini!:D

Enam belas tahun berikutnya barulah saya betul-betul sadar bahwa kita sesungguhnya hidup di bawah langit yang sama, meskipun sedikit berbeda! :D Di tahun pertama ketibaan saya di negerinya Merkel, tepatnya menjelang peralihan ke musim dingin, rasa penasaran saya pun kembali hadir. Saya betul-betul penasaran! Mengapa? Karena saya dengar dari orang-orang di sekitar saya bahwa "waktu akan mundur satu jam!" Loh, kok bisa? Lalu bagaimana caranya memastikan bahwa jam yang dimiliki oleh semua orang dapat serempak berganti? Apakah akan menjadi masalah bila saya memiliki sebuah janji keesokan hari di pukul 10 pagi (yang saya buat sebelum waktu dimajukan) dan datang esok pada pukul 10 pagi (yang sebenarnya pukul 11 di waktu sebelumnya)?? Belakangan saya ketahui bahwa inilah sebuah fenomena dwi tahunan yang secara rutin dilakukan dan biasa dikenal dengan istilah 'Daylight Time Saving" :D

Motto Bersama

Menjajal topeng di Venice

Di kalangan kami para pelajar asal Aceh yang tengah menempuh studi Master maupun Doktor di berbagai kampus di seluruh penjuru Jerman, ada sebuah motto yang dikenal luas dan disepakati oleh kami semua. Motto tsb kurang lebih berbunyi, "We are part-time student, full-time tourist!" :D Eropa memang 'surganya' para traveller, utamanya bagi para pelajar Indonesia di Jerman. Dengan visa yang kami miliki, kami bisa menembus tapal batas negara-negara tetangga dengan leluasa. Kecuali UK, seluruh negara sekitar semisal Perancis, Belanda, Belgia, Swiss, Austria, Spanyol, Italia, dsb dapat dicapai dengan berbagai penerbangan super murah seharga tiket kereta antar kota! Salah satu maskapai penerbangan kami para 'backpacker mania' bahkan menawarkan rute ke beberapa destinasi wisata terkemuka dunia seharga 30 EUR pp! Tidak ada nomor bangku seperti di 'penerbangan normal' lainnya:D Prinsipnya adalah 'siapa cepat, dia dapat!'. Meskipun tentu tidak ada seorang pun yang berdiri alias tidak kebagian tempat duduk di dalam pesawat.

Kalau bicara mengenai 'Reise Plan' (Rute Perjalanan), wah jangan ditanya! Sejumlah kolega Jerman mesti akan geleng-geleng kepala melihatnya. Bayangkan saja, dulu ketika baru tiba di Jerman, kami tinggal di sebuah kota kecil yang indah bernama Marburg, sekira 1 jam perjalanan ke arah utara kota Frankfurt am Main. Saat akhir pekan, dalam temaram fajar sembari menahan dinginnya kabut pagi, kami rela berlelah-lelah berjamaah menuju 'Bahnhof' (stasiun kereta) dengan berjalan kaki selama lebih kurang 30 menit demi mengejar 'kereta pertama'. Mengapa harus 'kereta pertama'? Karena kami berharap dapat singgah di tiga atau empat kota dalam satu hari penuh dan kembali ke rumah dengan kereta terakhir:D Kini, meskipun kami tidaklah 'segila' itu lagi, namun pada prinsipnya Reise Plan kami masih mengacu pada satu prinsip yang sama: "Sebanyak-banyaknya kota dalam tempo yang sesingkat-singkatnya!" :D Mengapa harus singkat? Karena setiap tambahan satu hari berarti tambahan pengeluaran bagi saku kami yang tipis. Bila perjalanannya tergolong jauh dan panjang, bila memungkinkan kami pun akan mengambil kereta tengah malam, berharap melepas lelah di atas kereta, dan tiba di kota tujuan berikutnya di pagi hari buta. Namun, rencana ini tidak selalu berjalan ideal :D

Dalam perjalanan terakhir kami dari Venice menuju Roma, selama enam jam perjalanan kereta, kami betul-betul tidak bisa beristirahat karena (di luar dugaan) kereta ternyata penuh sesak! Satu-satunya tempat yang tersisa hanyalah sebuah lorong panjang selebar satu badan orang dewasa, jalur penghubung tempat orang lalu-lalang. Setiap kali hampir terlelap, selalu ada saja orang yang membangunkan kami karena langkahnya terhalang oleh tubuh-tubuh kami:D

Travelling dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain tentu menghadirkan sensasi yang berbeda-beda. Setiap kota menawarkan atmosfirnya masing-masing dan menyisakan kesan yang berbeda dalam catatan perjalanan hidup kami nanti:D Salah satu hal yang sangat saya nikmati adalah di sepanjang perjalanan kami mendengar beragam bahasa, menjumpai beragam peristiwa. Terlepas dari apapun perbedaan yang melekat di antara kami para 'backpacker', menghormati dan menghargai sesama adalah sebuah harga mati. Keramahan yang kita dapati di tempat asing dari seorang yang asing merupakan sebuah fenomena yang sangat menenangkan. Meskipun perjalanan tidak melulu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan, namun ia selalu menyisakan sebuah cerita menarik untuk dikenang:D

Menghormati Budaya, Menjunjung Prinsip


Menunaikan Shalat Fardhu

Mungkin kita masih ingat sebuah pribahasa klasik yang kurang lebih berbunyi, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Sebuah pesan moral yang disampaikan dalam pribahasa tsb sangatlah penting untuk disimak. Di setiap tempat ada sebuah norma yang harus kita hormati dan pahami. Namun, di sisi lain kita pun tentunya memiliki prinsip-prinsip yang perlu dijaga, di mana pun kita berada. Sebagai Traveller muslim misalnya, kita harus senantiasa berupaya menjaga makanan yang kita pangan, menjaga kewajiban shalat kita, senantiasa saling mengingatkan dan menjaga. Terkadang mungkin kita lupa, secara tidak disadari, di sebuah tempat yang jauh dari rumah, kita menjadi seorang yang betul-betul berbeda. Karena jauh dari rumah, tidak ada keluarga yang biasa mengingatkan, lalu kemudian dengan dalih sudah cukup dewasa mengambil 'jalan suka-suka'. Dalam realita backpacker muslim, fenomena 'merasa malu', 'tidak enak' untuk menunaikan shalat di kamar hostel yang dipenuhi oleh sesama backpacker dari berbagai negara tak jarang muncul. Padahal pada prinsipnya, setiap kita menghormati sesama. Selama kita tidak mengganggu yang lain, maka tunaikanlah shalat. Bila ditanya, "kamu sedang apa?", maka jawab saja "saya sedang beribadah!:D" selesai. Dalam kasus lainnya, bila seandainya ada yang bertanya, "Kenapa kamu tidak ikut minum (bir)?". Jawab saja, "Saya tidak minum (alkohol)!:D". Selesai.

Dari kultur yang berkembang di masyarakat Jerman, saya belajar untuk lebih menghargai perbedaan dan berterus-terang. Saya dan kamu mungkin berbeda pandangan, namun kita tetap berteman:D Setiap diri tentu memiliki pengalaman subjektifnya masing-masing. Terlepas dari itu semua, menurut saya penting bagi kita untuk belajar melihat dari cakrawala dan sudut pandang yang lebih luas, tanpa kehilangan pijakan. Menyampaikan, tanpa perlu menyakiti. Enam bulan tersisa, mohon doa semoga Allah karuniakan selalu jenak waktu yang penuh manfaat. Karena hidup adalah perjalanan, maka mulailah dengan menetapkan tujuan, kemudian siapkan perbekalan dan atasi setiap dinamika persimpangan jalan:D

Erfurt, 18 Januari 2012

Reza

1 opini dari pembaca:

Unknown said...

Dear : A Little Piece of Reza

" Menghormati budaya, menjungjung prinsip."
Membaca postingan kakak ini, mengingatkan saya akan satu pengalaman yang tidak terlupakan. Tentunya mengenai prinsip pula. Hehe :-)

Intinya apabila di ibaratkan, menjunjung prinsip dengan teguh itu seperti halnya kita memegang lilin.
Maknanya :

1. Jika dijatuhkan maka bara apinya akan padam begitu saja,dan pasti tangan kita tidak akan merasakan sakit karena panas.

2. Jika terus dipegang dengan erat tentulah tidak akan padam, tapi konsekuensinya tangan kita akan merasakan sakit karena panas.

Pun juga halnya dengan menjunjung prinsip. Jika prinsip itu ditinggalkan, kita tidak mempunyai pahala. Dan jika prisip itu terus dipegang, pahala yang jadi jaminan nya. Tapi ya itu tadi konsekuensinya, ada pengorbanan.


=D Just share
Teruskan Perjuangan !


13 Rabi'ul Awal 1433 H

Dari : Hamba yang fakir nan dhoif

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips