Saya
tertegun menyimak pernyataan salah seorang penceramah tarawih di masjid kampus Unsyiah
tadi malam, “Di bulan ini, saya sudah dapat tiga kali Lailatul Qadar”. Lailatul
Qadar lumrah menjadi tajuk utama di hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Tak
terkecuali tahun ini. (Sebagian) umat muslim di Banda Aceh tampak bersiap-siap
untuk meramaikan masjid dengan beritikaf bersama dengan para pemburu ‘lailatul
qadar’, sementara sebagian lainnya secara konsisten sejak awal bulan bergabung dalam
‘jamaah kupi’ meramaikan sejumlah kedai kopi yang terdapat di berbagai pelosok
kota.
Kembali
ke cerita Lailatul Qadar tadi, sang penceramah melanjutkan bahwa salah satu
berkah ‘Lailatul Qadar’ yang beliau dapatkan berupa “kiriman buah durian dari keluarga
di kampung”. Saya semakin bingung, bagaimana mungkin malam ‘Lailatul Qadar’
yang konon lebih baik dari seribu bulan menjadi sama nilainya dengan sekarung
durian dari kampung. Ternyata beliau berpendapat bahwa malam ‘Lailatul Qadar’ yang
diperoleh oleh setiap individu dapat berbeda-beda tergantung amal ibadahnya.
Para ‘jamaah warung kupi’, misalnya, mustahil memperoleh sebuah lailatul qadar
yang nilainya lebih dari secangkir kopi dan obrolan lepas malam , kecuali mulai
bergegas menghentikan aktivitas malamnya di warung kopi, menahan diri untuk berhenti
menonton pertandingan bola olimpiade, dan mulai menyengaja pergi ke
masjid-masjid tempat itikaf digelar. Semakin rendah kualitas amalan kita, maka
semakin rendah pula nilai lailatul qadar yang mungkin kita peroleh di bulan
ini. Waktunya introspeksi diri, seberapa baik kualitas amalan kita di bulan
Ramadhan tahun ini. Sudahkah kita menemukan kenikmatan, melarutkan diri dalam
berbagai aktivitas ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada sang
Ilahi Rabbi. Bila dirasa belum, masih ada waktu lebih kurang sepuluh hari untuk
memperbaiki diri dan mempersiapkan berbagai amunisi yang diperlukan, bergabung
dalam tim pemburu seribu bulan.
Sejauh-jauh
kita merantau, tentu tiada yang lebih
nikmat daripada ber-ramadhan di kampung halaman sendiri. Namun demikian, para
perantau tentunya insya Allah memperoleh ganjaran yang lebih atas jerih
payahnya mengelola diri untuk konsisten dalam amal kebaikan, menahan rindu
sejenak dari sanak famili tercinta. Semoga berkah segenap langkah kita, di mana
pun kita berada. Amiin..
Tidak
ada pilihan bagi kaum muslimin di Indonesia, lailatul qadar yang dipercayai
oleh banyak orang memiliki probabilitas yang besar terjadi pada malam-malam ganjil,
selain harus bersiap-sedia menggarap kesepuluh hari yang tersisa. Karena malam
genap versi pemerintah (NU), menjadi malam ganjil versi Muhammadiyah., dan
sebaliknya malam genap versi Muhammadiyah, menjadi malam ganjil versi
pemerintah (NU). Jadi, bersuka citalah meramaikan sepuluh malam terakhir guna
memantaskan diri tuk memperoleh sebuah malam yang betul-betul bernilai malam
seribu bulan.
Semoga
dapat menjadi pengingat khususnya bagi saya pribadi, maupun sahabat sekalian
para muslimin muslimat yang tengah berbenah diri, memperbaiki kualitas diri.
Wallahualam bish shawab.
Salam
hangat dari Banda Aceh,
22
Ramadhan 1433 H
Picture is taken from paktam9788.blogspot.com