Thursday, November 24, 2011

Eropa kini di mata saya

“Manusia merasa terganggu bukan oleh hal lain, melainkan oleh cara pandangnya akan hal-hal tersebut” – Stoic Epictetus



Pagi ini, telah lewat pukul dua dini hari dan saya belum bisa tertidur menyimpan sejumlah tanda tanya besar di kepala.. Serangkaian diskusi maupun berbagai obrolan hangat di sepanjang minggu lalu tiba-tiba kembali menyadarkan saya, bhw dunia kita ini sesungguhnya masih menyediakan begitu banyak ‘ladang potensial’ utk dikembangkan=D jd bagi sahabat sekalian, baik yg masih berstatus mahasiswa, baru saja menyandang gelar sarjana, maupun telah lama menghirup udara dunia kerja.. jangan pernah khawatir kehabisan ladang berkontribusi! Sebagian topik di antaranya berkisah tentang kondisi di berbagai negeri Eropa maupun institusinya (baca: Uni Eropa), tidak lupa pula tentang masa depan negeri=D

Kalau boleh saya bertanya kepada sahabat sekalian, “Apa kesan yang terlintas di benak kita saat pertama kali mendengar kata ‘Eropa’?” Dahulu, di benak saya negeri-negeri Eropa merupakan sebuah ‘negeri tanpa cela’, terutama bila kita mencoba memandang mereka dari sisi kalkulasi ekonomi. EU (atau yg dikenal dengan Uni Eropa) merupakan area yg sangat atraktif bagi para pelaku bisnis dunia, wa bil khusus karena Uni Eropa dianggap sbg sebuah ‘kawasan model’ (baca: percontohan) yg dianggap paling berhasil dlm dengan menggenjot roda perekonomian regionalnya dibandingkan dgn kawasan lainnya. Faktanya memang demikian.. namun, apabila kita telisik lebih jauh ternyata EU pun menyisakan berbagai ‘kebimbangan’ yang amat sangat kompleks untuk diatasi, bahkan bisa saya katakan ‘jauh lebih serius’ dibanding permasalahan yang dihadapi oleh bangsa-bangsa dunia ketiga di kawasan Asia maupun Asia Tenggara secara khusus.

Kebimbangan yang pertama, menyangkut ketimpangan tingkat kesejahteraan berbagai negara di kawasan eropa. Bila ada di antara sahabat sekalian yang masih berpikir bahwa seluruh negara eropa merupakan negara ‘maju’, maka barangkali tulisan ini bisa sedikit memberikan gambaran bahwa eropa tidaklah ‘semaju’ yang kita duga. Di antara 27 negara anggota EU, ada beberapa negara yang kini masih memiliki permasalahan serius dengan perekonomiannya dan tingkat kesejahteraan warganya, sebut saja rangkaian krisis finansial di negeri ‘saint seiya’ Yunani (info lbh lanjut bisa dilihat disini: http://www.cnn.com/2010/BUSINESS/02/10/greek.debt.qanda/index.html), di negeri ‘matador’ spanyol (info lebih lanjut bisa dilihat disini: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2011/mar/30/eurozone-crisis-spain-pain-editorial), maupun di ‘negeri asal Ronan Keating’ Irlandia (http://www.guardian.co.uk/business/ireland-business-blog-with-lisa-ocarroll/2011/apr/01/ireland-banking-crisis atau di http://en.wikipedia.org/wiki/2008%E2%80%932011_Irish_financial_crisis). Semuanya mendekati titik nadhir alias ‘collapse’!

Kebimbangan kedua, jauh lebih filosofis daripada yang pertama.. mengapa? Ketika beberapa negara Eropa bersepakat untuk membentuk EU, maka ada sekian hal yang harus ‘dikorbankan’ dari kedaulatan (baca: sovereignty) masing-masing bangsa tsb. Kalau dulu, proses pengambilan keputusan hanya melibatkan berbagai institusi ‘dalam negeri’, kini proses pengambilan keputusan harus dilakukan bersama-sama pada tingkat ‘supra-nasional’. Salah satu implikasi nyatanya, tentu membuat proses pengambilan keputusan menjadi jauh lebih kompleks.

Implikasi lain yang juga tidak kalah penting, menyangkut siapa yang sesungguhnya berhak untuk mewakili EU di mata internasional? Scr de jure, memang disebutkan bahwa EU secara eksternal direpresentasikan oleh the Presidency of the Council of the European Union. Namun scr de facto, kepemimpinan EU di mata internasional (khususnya di Asia Pasifik, simak ‘lecture on The EU through The Eyes of Asia’ berdasarkan penelitian terkini Chaban & Holland di http://www.youtube.com/watch?v=-K7XwhbZw2w&feature=related) masih menyisakan tanda tanya besar dan lebih banyak diperankan oleh trio EU (Jerman, Inggris & Perancis). Kondisi ini menjadi lebih kompleks karena ketiga negara ini memiliki ‘kepentingan’-nya masing-masing. Merujuk kepada salah seorang prof saya, prof Weisskirchen (http://en.wikipedia.org/wiki/Gert_Weisskirchen), masing-masing negara tsb memiliki kecenderungan natural untuk ‘lebih mengutamakan kepentingan negara dibandingkan kepentingan EU itu sendiri’, gejala ini terutama (menurut beliau) secara konsisten ditunjukkan oleh Sarkozy, dari Perancis (baca: http://www.ecfr.eu/page/-/documents/Torreblanca-Sarkozy-Foreign-Policy.pdf).

Keadaan memprihatinkan lainnya, terlihat pula dari nilai-nilai yang berkaitan dengan kepedulian antara sesama. Contoh yang tepat, salah satunya mungkin bisa tercermin dari bagaimana kebijakan Berlusconi, Italy dalam merespon gelombang pengungsi dari afrika, sebagian besar Tunisian (belakangan membuat hubungan Italy-France ‘memanas’), yang kurang lebih dapat disimpulkan sebagai berikut: “Para pengungsi yang tiba di perbatasan Italy, silakan langsung ambil kereta menuju perancis!” (baca: http://24worldnews.net/world-news/france-stops-italy-migrant-trains/). Prof. Weisskirchen menggambarkannya sebagai sebuah fenomena ‘saling lempar tanggung jawab’, yang memperlihatkan ketidak-acuhan satu negara dengan negara lainnya (di dalam EU) untuk saling menanggung masalah bersama-sama (sebagai konsekuensi mjd anggota EU).

Kompleksitas ini belum ditambah dengan kondisi geopolitik EU, terutama dalam relasinya dengan negara-negara tetangganya. Prof. Mahbubani (dekan LYSPP, singapore) dalam bukunya ‘The New Asian Hemisphere’ bahkan menempatkan EU di posisi ‘kedua dari bawah’ setelah ‘the Soviet Union’ dalam ‘Rangking of Geopolitical Incompetence’ (simak perdebatan menarik bertajuk ‘Asia vs Europe: Which Region is More Geopolitically incompetent?’ di http://www.youtube.com/watch?v=K6wblfoRb14&feature=BFp&list=WL2D1CC90353BF712F&index=10 atau pidato beliau dlm versi yang lebih ringkas di http://www.youtube.com/watch?v=4GEcXVbsEX8). I would recommend his book, definitely!=D

Berdasarkan diskusi saya di kelas dengan beberapa kawan yang kesemuanya berasal dari beberapa negara Eropa (Jerman, Rumania, Macedonia & Rusia) plus dua orang asal Afghanistan, Kondisi EU ini nampaknya bisa dirangkum dalam pernyataan Mc Cormick (1999) berikut: “The world does not yet quite know what to make of the European Union, in large part because the European Union does not yet quite know what to make of itself”. Di akhir diskusi, saya sampaikan kepada prof Weisskirchen & kawan-kawan, bahwa “Asia (dengan berbagai permasalahannya) nampak masih jauh ‘lebih beruntung’ daripada Eropa!=D” (akhirnya, saya sbg ‘Asian’ bisa menemukan sebuah poin yg membuat kita sedikit lebih ‘unggul’ dibandingkan kawan-kawan ‘European’). Europe is now simply at the point of ‘no return’.. kalau dalam bahasanya ‘Warkop DKI’: maju kena, mundur kena!=b

Sebagian kawan mungkin berpendapat, “ini adalah waktu yang tepat bagi muslim untuk menjadi bagian dari solusi=D” Tapi, nanti dulu.. Mengamati bagaimana dinamika muslim, di Eropa & Middle-East pada khususnya, muslim pun kini masih berlomba dengan waktu untuk mengatasi berbagai tantangan internal (baca: diantaranya tingkat pengangguran & pendidikan) maupun eksternal (baca: ‘Islamophobia). Keduanya, kini menurut saya, menghasilkan sebuah kondisi ‘mistrust’ (baca: ketidakpercayaan) terhadap solusi yang dapat dihadirkan oleh Islam. Bila sahabat (yang beragama Islam) ditanya, apa yang bisa ditawarkan Islam sebagai solusi..

Jawaban apa yang akan anda berikan dalam tataran konkrit?=D Saya pribadi, masih belum memiliki solusi yang nyata, misalnya ketika kawan-kawan bertanya mengenai bagaimana mengatasi kondisi ‘Islamophobia’ yang kini melanda eropa, khususnya di Inggris dan Perancis (semoga ada sahabat di Inggris maupun Perancis yang berkenan berbagi=D). Saya pribadi baru mampu memberikan saran yang bersifat umum dengan mendorong terjadinya komunikasi yang lebih terbuka dengan komunitas muslim guna mengatasi prejudice yang didasari oleh keterbatasan dalam hal informasi. Namun, belum mampu memberikan konsep yang lebih ‘real’, misalnya dalam mengatasi perilaku sekelompok ‘oknum’ pemuda Turki kaya (yang dikategorikan oleh masyarakat jerman sebagai ‘muslim’) di sebuah kawasan tertentu di Berlin, yang kerap menampilkan perilaku berlalu-lintas yang meresahkan warga sekitar dengan arogansi ‘mainan’ mobil mercedez-nya. Wallahua’lam. ‘Uncertainy’ nampaknya menjadi sebuah kata yang mewakili seluruh rangkaian diskusi saya minggu lalu..

Lalu bagaimana dengan negeri kita?=D Hingga saat ini, saya masih belum bisa menemukan jawaban yang memuaskan (minimal bagi diri saya sendiri) terhadap pertanyaan berikut: “Mengapa negara sepotensial Indonesia masih belum juga mampu menjadi sebuah negara maju?”. Saya memang mendengar bahwa kita ini masih belum kompak, krisis kepemimpinan dan keteladanan, dan sekelumit permasalahan lainnya. Tapi coba telaah bagaimana perjalanan historis negara tetangga kita, Singapura (semoga di lain kesempatan saya dapat berbagi tentangnya). Dari sebuah negeri ‘tanpa nama’, ‘tanpa nasionalisme’ hingga kini menjadi salah satu negara super kaya.. dan Singapura ibarat sebuah titik dibandingkan pulau-pulau di sepenjuru Nusantara.

Jadi kita harus mulai dari mana? Seringkali saya khawatir bahwa sepulangnya saya nanti pun tidak mampu memberikan sumbangsih apa-apa bagi masyarakat. ‘Zona nyaman’ ini betul-betul membuat saya terlena. The problems are simply too complicated! Rasa-rasanya, berkontribusi di sebuah desa kecil dan berupaya mengembangkan masyarakatnya sepenuh hati jauh lebih baik daripada ‘terjun’ ke sebuah area yang penuh konflik, sarat berbagai ‘kontaminasi negatif’. Sekiranya sahabat berada di posisi saya, memperoleh kesempatan studi di Jerman, apa yang akan sahabat sekalian lakukan?=D

Permasalahan nampaknya ada dalam ‘sistem’, bukan ‘orang’. Sehingga secara teoritis, keteguhan dalam mengemukakan & bertahan dalam prinsip-prinsip kebaikan, seharusnya menjadi keniscayaan sebagai pondasi berkarya kita. Dalam tataran praktis, tentu sahabat sekalian yang kini sudah terjun ke dalam institusi-institusi pemerintahan maupun swasta yang lebih mafhum dari saya baru belajar beretorika. Terima kasih atas kesediaannya untuk menjadi sahabat berbagi kegamangan=D selamat beraktivitas!

picture source: http://www.europeword.com/blog/tag/european-union-countries/

0 opini dari pembaca:

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips