Monday, November 10, 2008

SELAMAT HARI PAHLAWAN!

Bagi saya, peringatan Hari Pahlawan tahun ini sedikit berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sedikit berbeda karena sekira 5 hari sebelumnya, orang tua saya meminta saya untuk mengosongkan jadwal kegiatan saya pada weekend jelang peringatan Hari Pahlawan. Mereka berencana untuk melakukan ziarah kubur ke kota Sumedang. Ya, ayah saya yang memang keturunan Aceh tulen, meminta saya untuk menjadi guide untuk mengantar beliau ke makam Tjoet Nyak Dhien yang terletak di jantung kota Sumedang.

Tjoet Nyak Dhien
adalah seorang pejuang wanita satu-satunya di Indonesia yang bertempur langsung secara fisik memimpin sekelompok pejuang untuk melawan Belanda. Beliau terus berjuang hingga perlahan-lahan semakin tua dan jatuh sakit. Namun, bahkan di tengah sakitnya beliau masih tetap konsisten memberikan semangat kepada para pejuang aceh di sana dalam menghadapi Belanda. Karena dianggap berbahaya dan mengancam eksistensi Belanda, maka pemerintah Belanda kala itu memutuskan untuk mengasingkan beliau ke Sumedang. Ibu Prebu (demikian beliau disapa oleh masyarakat sumedang) yang tidak bisa berkomunikasi dengan masyarakat sekitar sumedang ketika itu (karena hanya bisa berbahasa aceh), ternyata masih dapat berkontribusi dengan menjadi guru ngaji yang mengajarkan masyarakat baca tulis quran hingga menghembuskan nafas terakhir di bumi Sumedang pada tahun 1908. Tahun ini genap 100 tahun berlalu sejak peristiwa tsb berlangsung. Ketekunan, konsistensi dan ketulusan beliau dalam membantu dan mengembangkan sesama sungguh sebuah realita yang mungkin jarang sekali ditemui dewasa ini.

Perjalanan menuju sumedang memakan waktu lebih kurang 1 jam dari kawasan pendidikan Jatinangor, tempat saya menimba ilmu hingga kini mendapatkan gelar sarjana Psikologi. Di sepanjang perjalanan melewati Jatinangor tidak tampak sama sekali hiruk pikuk peringatan Hari Pahlawan di sana. Yang tampak hanyalah pemandangan rutin yang biasa terlihat setiap hari minggu pagi: Pasar Unpad (kami biasa menyebutnya dengan sebutan "PAUN"). Sebuah pasar "kagetan" yang penuh sesak dengan para pedagang yang menjajakan barang dagangannya di areal sekitar kampus Unpad Jatinangor. Sebuah fenomena kampus pinggir kota, mirip dengan fenomena yang terjadi di kampus UI depok. Melintasi Jatinangor kami terus meluncur melewati tanjung sari, kemudian melewati kelokan bukit dan jurang di cadas pangeran dan kami sampai di pintu makam sekitar pukul 11. Belum terlihat keramaian di pintu makam. Belakangan kami mengetahui dari penjaga makam bahwa rombongan Masyarakat Aceh dari jakarta, bandung dan sekitarnya menggelar acara seremonial dan silaturahim akbar di Pusat Dakwah Islam Sumedang dahulu sebelum melakukan kunjungan ke makam.

Turun dari kendaraan, kami langsung menaiki anak-anak tangga kecil dan menyusuri areal makam. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, kompleks pemakaman ini adalah kompleks pemakaman keluarga yang juga menjadi tempat peristirahatan terakhir para sesepuh sumedang. Setelah 5 menit berjalan, kami pun menemukan makam beliau. Tidak jauh dari makam, terdapat sebuah "meunasah"; demikian sebutan masyarakat aceh bagi sebuah langgar atau tempat ibadah yang berbentuk seperti panggung, biasa dipakai sebagai sebuah tempat masyarakat aceh bermusyawarah.

Ini kali kedua saya mengunjungi makam beliau. Terakhir saya mengunjungi makam beliau sekitar dua tahun yang lalu bersama dengan kakak dan ayah saya. Makam ini nampaknya belum diketahui oleh banyak orang. Padahal makam ini terletak tidak jauh dari pusat kota. Makam ini terletak di tingkungan pertama ke arah Taman Wisata Kampung Toga yang cukup ramai dikunjungi oleh masyarakat. Nampaknya taman wisata jauh lebih akrab di mata masyarakat dibandingkan dengan keberadaan makam salah satu pahlawan terbaik yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

Saya terkadang merasakan satu kesedihan yang cukup mendalam ketika menyadari bahwa waktu telah demikian lama berlalu melewati generasi demi generasi.. mengapa terasa sekali di benak saya bahwa dari generasi ke generasi kita terus menerus mengalami degradasi? degradasi moralitas, degradasi kualitas dan berbagai degradasi lainnya. Hal ini pun saya rasakan ketika awal mula saya menjalani amanah sebagai pelayan mahasiswa di kampus. Saya merasa bahwa kualitas saya, dedikasi saya, keshalehan dan ghirah saya jauh lebih rendah dibandingkan para pendahulu. Mungkin ini subjektif, tapi benar demikian yang saya rasakan.

Bukti-bukti yang semakin menguatkan perasaaan saya ini kian jelas ketika saya menyaksikan bagaimana perjuangan seorang nenek yang sudah tua renta mengangkut sebuah karung yang berkilo-kilo beratnya, naik turun tangga pasar di jogja sana. Atau bagaimana perjuangan seorang kakek yang berjalan berkilometer jaraknya, tanpa alas kaki menyusuri dinginnya udara malam Jatinangor dengan penerangan sekedarnya dari sebuah lilin minyak tanah kecil yang ia letakkan diujung tumpukan bambu yang ia bawa. Kemana perginya para kaum muda? kemana perginya cucu atau anak beliau? tertidurkah mereka? dibalik semua itu, kegigihan dan ketekunan mereka benar-benar menggetarkan hati saya. Mampukah kita, para generasi muda Indonesia meningkatkan kembali kualitas ketekunan, kegigihan dan ketulusan kita dalam bergerak, berjuang untuk sesama?

semoga, saya berdoa dengan sepenuh hati para pembaca yang budiman, kita semua menjadi generasi muda yang bersegera melakukan perbaikan kualitas diri dan mampu untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini seperti sedia kala. amin. Bangkitlah para pemuda! bergerak!


gambar diambil dari http://salamatahari.files.wordpress.com

1 opini dari pembaca:

Anonymous said...

baru tau makamnya cuk nyat dien di sumedang...

katanya bung tomo juga baru ya diangkat jadi pahlawan nasional?? alhamdulillah...

berjuang pak, setiap hari, sekuat tenaga!

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips