Friday, April 24, 2009

Meredefinisi Makna Jahiliah


"Sungguh simpul ikatan Islam akan pudar satu-persatu manakala orang di dalamnya tumbuh tanpa mengenal jahiliah!"
(Umar Ibn Khattab RA)

Bagi siapa pun yang mengenal sosok Al-Faruq (demikian julukan yang diberikan kepada Umar RA) tentunya meyakini bahwa beliau bukanlah sosok yang gemar mengumbar ucapan sembarang ucap. Terlebih karena beliau adalah seorang amirul mu'minin yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala perangainya, termasuk lisannya.

Ucapan beliau yang saya kutip di atas, nampaknya masih sangat relevan sebagai sebuah pengingat bagi kita dalam berinteraksi dengan kondisi kekinian umat Islam masa kini.

Dari quote tsb, sekilas kita bisa menangkap sebuah pesan penting bagi tiap insan muslim, khususnya para pemuda Islam, untuk menyadari urgensi dari "mengenal jahiliah" sebagai langkah awal untuk menahan diri dari segala bentuk kejahiliahan masa kini. Alfahmu qobla amal; pemahaman (dahulu) sebelum beramal. Benarlah perkataan salah seorang sahabat; "alangkah berbahayanya bila semangat keislaman kita yang menggebu-gebu, tidak dibingkai oleh pemahaman yang memadai!".

Apakah kiranya kesan yang muncul secara spontan dalam benak kita ketika mendengar kata "Jahiliah"? Kemungkinan besar kesan yang timbul berkisar pada kata-kata semisal: kebodohan, keterbelakangan, ketidakmampuan, ketidaktahuan, dsb. Memang kesan-kesan tsb tidak jauh dari makna bahasa "Jahil" yang berarti: bodoh. Namun, satu hal yang sangat penting untuk kita pahami bersama adalah bahwa "Jahiliah tidak selalu identik dengan kebodohan, keterbelakangan, ketidakmampuan ataupun ketidaktahuan!"

Bila kita coba mengingat kembali sosok "Tokoh-Tokoh Jahiliah" yang terekam dalam sirah, sama sekali tidak ada tanda-tanda "keterbelakangan" dalam diri mereka. Bahkan kita mendapati sebaliknya! kita mendapati mereka sebagai "orang-orang istimewa" di masanya!

Ingatkah kita dengan sosok Amr bin Hisyam yang lebih dikenal dengan nickname Abu Jahal; "Bapak Kejahiliahan"? Beliau adalah seorang pemuka yang memiliki kemampuan baca tulis (kemampuan yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang kala itu), seorang hakim yang memiliki kewenangan legislasi untuk memutuskan perkara masyarakat, seorang yang dikenal dengan kelimpahan hikmah yang dimilikinya.

Demikian pula bila kita berkaca kepada sosok Fir'aun dengan kedigdayaan kerajaannya, Qarun dengan kelimpahan hartanya, Bal'am bin Ba'uraa dengan sosok kealimannya, dan lain sebagainya. Namun, terlepas dari semua keistimewaan yang mereka miliki, mereka tetap dicatat dalam sejarah sebagai para Tokoh Jahiliah! Kecerdasan, kekuasaan, keilmuan yang mereka miliki tidak serta merta menjadikan mereka sebagai orang-orang yang menyejarah sebagai "seorang yang mulia", justru sejarah mencatat mereka sebagai orang-orang yang lupa diri!

Oleh karena itu, nyatalah bahwa jahiliah tidaklah selalu tampil dalam 'kemasan' kebodohan. Bahkan kejahiliahan kini bertransformasi menjadi kejahiliahan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik cendikia. Inilah jenis Jahiliah yang paling berbahaya! Yakni, orang-orang yang tahu, tapi tidak mau tahu. Orang-orang yang meyakini suatu kebenaran, tetapi senantiasa mencari alasan untuk tidak mengimplementasikan kebenaran tsb. Mereka menjadi menjadi jahiliah, justru setelah mereka mendapatkan ilmu yang memadai atasnya.

Oleh karena itu sahabat sekalian.. Mari kita perbaharui kembali definisi kita mengenai terminologi "Jahiliah" sehingga kita mampu bermawas diri dari segala bentuk kejahiliahan, terutama dari jenisnya yang paling berbahaya: kejahiliahan yang dibungkus dalam berbagai keistimewaan!

wallahua'lam


terinspirasi dari : "Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim", Salim A.Fillah

picture taken from: http://www.bukumuslim.com/

0 opini dari pembaca:

Quote of The Day :

"Mantapkanlah diri untuk mengakui kealfaan diri saat kritikan tajam datang menyapa.. terasa berat,namun sesungguhnya meringankan!"

Label Cloud


 

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips